Blog

33 Tahun Tjoet Nja’ Dhien

Posted by:

 

Tjoet Nja’ Dhien (TND) adalah film epik sejarah tentang seorang wanita pejuang dan kawan-kawannya yang melawan pendudukan Belanda di Aceh. Film yang disutradarai oleh Eros Djarot ini memenangkan Piala Citra sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988. Dibintangi oleh Christine Hakim sebagai Tjoet Nja’ Dhien dan Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar, membuat film ini tidak hanya memenangi penghargaan bergengsi di dalam negeri saja, tapi juga sempat diajukan ke Academy Awards  ke-62 tahun 1990 untuk penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik, namun tidak lolos dalam pencalonan nominasi. Setahun sebelumnya, TND ditayangkan di Cannes Film Festival 1989, dan menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di festival itu.

Pada Mei 2021; TND kembali dirilis dalam bentuk yang sudah direstorasi, dan ditayangkan di beberapa bioskop di kota-kota besar Indonesia. “Kenapa kita putar kembali, karena kita melihat konteks atau pesan yang mau disampaikan melalui film ini masih sangat aktual dengan situasi sekarang, dan kedepannya,” ungkap Christine Hakim kepada media (30/5). Christine dan Djarot bersaudara (Eros dan Slamet Rahardjo) pada waktu itu bercita-cita untuk membuat film Indonesia yang bagus. Bagus artinya pembuatan film ini memerlukan riset, analisa, dan penyajian cerita yang memang baik untuk bangsa, sehingga dampaknya akan abadi. Pembuatan film ini memakan waktu 3 tahun dan dananya sempat seret. Bahkan para pemain waktu itu tidak dibayar, sehingga terpaksa mencari sumber dana yang lain demi meneruskan pembuatan film ini. Kerja keras dan pengabdian membuahkan hasil: setelah 33 tahun TND tetap dirayakan dan penayangannya kembali diberi respon positif oleh penonton, media, dan tokoh-tokoh masyarakat.

 

Atas: Gorda (mahasiswa film SAE) dan Eros Djarot. Bawah: Christine Hakim dan Slamet Rahardjo Djarot

 

Pendalaman Karakter Para Pejuang

Tidak mudah sama sekali untuk memerankan tokoh-tokoh yang sudah wafat hampir seratus tahun yang lalu, terlebih mereka adalah para pejuang bangsa. Namun selaku sutradara, Eros Djarot justru tidak ingin agar penampilan fisik Christine Hakim di film TND dimirip miripkan dengan  foto Cut Nyak Dhien yang ada di buku-buku sejarah. Eros justru mengambil pendekatan yang lebih mendalam: menampilkan kondisi Cut Nyak Dhien yang telah memakan asam garam perjuangan, hingga kondisi tubuhnya yang sudah menderita encok dan rabun. Menurut Christine Hakim, Eros Djarot adalah sutradara yang sangat detail. Dari ujung kepala sampai ujung kaki para pemain benar-benar diperhatikan Eros, apakah sudah memenuhi tuntutannya atau belum.  Tidak seperti sekarang; tahun 1980-an belum ada ahli make up film seperti di Hollywood, maka setiap pemain harus mencari cara sendiri untuk membenahi penampilan fisiknya agar sesuai dengan situasi perang Aceh. “Bahkan telapak kaki saya saja, kalau dilihat masih putih, itu syuting bisa tertunda sampai 1 jam untuk make up telapak kaki supaya kelihatan pecah-pecah. Akhirnya saya kemana mana, dimana ada kesempatan, nyeker saja. Karena memang ada beberapa adegan di TND yang kakinya Cut Nyak Dhien itu menghadap kamera,” kata Christine saat diskusi di LIVE IG SAE Indonesia (10/6)

Slamet Rahardjo ingin agar tokoh Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim –sebagai strategy maker– duduk saja, tidak berdiri-berdiri. Ia melatih Christine duduk berdiam di atas humus yang lembab. Jika kedinginan, pegal, sakit, atau ingin buang air kecil, Christine tidak boleh beranjak. “Hingga akhirnya dia marah sama saya sampai matanya mendelik,” ungkap Slamet. Di salah satu adegan TND; muka  Cut Nyak Dhien di-close up dan menoleh ke kamera, dan pada saat itulah, kata Slamet, ekspresinya sama ketika sedang marah waktu sedang  dilatih untuk duduk berdiam. “Saat adegan itu, segala emosinya tumpah dalam satu ekspresi kemarahan yang sublim. Ia sudah menjelma menjadi Aceh itu sendiri: ia adalah angin, air, api, dan buminya Aceh,” kata Slamet.

Christine Hakim dan Djarot bersaudara sudah bersama sama sejak aktif di Teater Populer yang diasuh oleh Teguh Karya. Karena kedekatannya, mereka bertiga sering terlibat dalam proses produksi film. Tidak cuma dalam pembuatan TND ini saja Christine ‘disiksa’ demi peran maksimal. Dalam film Ponirah Terpidana , Christine bahkan dilatih disiplin sampai 4 bulan: kepalanya ditaruh batu dan disiram air, dan masih banyak lagi ‘siksaan’ lainnya. “Itu adalah pembelajaran yang mas slamet berikan, bagaimana caranya mendalami sebuah karakter,” kata Christine.

 

Film Adalah Kehidupan

Tjoet Nja’ Dhien adalah film pertama yang disutradarai oleh Eros Djarot. Sebelumnya ia dikenal sebagai musisi pada tahun 1970-an dan kemudian berkarier sebagai penata musik film-film Indonesia. Setelah Tjoet Nja’ Dhien, tahun 1991 ia menyutradarai film Kantata Takwa bersama Gotot Prakosa. Film ini sarat muatan isu sosial politik dan karena berpotensi menyinggung rezim orde baru, maka pembuatannya tertunda hingga 18 tahun. Tahun 2008 barulah film ini bisa dirilis. Pada tahun yang sama Eros menyutradarai film Lastri, yang bercerita tentang korban perkosaan pasca peristiwa 30 Oktober 1965. Namun karena banyak tekanan dari organisasi massa dan pemerintah setempat, produksi film ini terpaksa dihentikan.

“Film itu tidak semata hanya barang tontonan, tapi di dalam film ada kehidupan. Dan dimensi kehidupan itu luas,” kata Eros. Untuk membuat sebuah film harus diniatkan agar film itu bagus dan jujur, serta dekat dengan kehidupan. Karena kehidupan, kata Eros, adalah sekolah yang luar biasa. Untuk menjadi sutradara pun harus belajar terus menerus dan ditempa oleh latihan demi latihan. Dan seorang sutradara itu harus knowledge-able dan berwawasan luas, karena sutradara harus menerjemahkan adegan demi adegan yang dipadatkan dalam waktu 90 atau 120 menit.

Eros ingin agar generasi filmmaker mendatang mempunyai tekad. Tidak berhenti mengagumi seorang tokoh atau sebuah karya, tapi harus berpikir bagaimana cara ‘mengalahkan’ prestasi atau karya mereka dengan karya sendiri. Caranya adalah dengan mempelajari kelebihan dan kekurangan para pendahulu itu; sebab dari situ seorang insan film akan dapat mencapai kemajuan, dan produksi film Indonesia pun berkelanjutan.

“Saya senang kalau ada yang bisa menantang untuk mengalahkan saya secara kreatif. Karena di dunia musik yang saya geluti pun juga banyak yang ‘menantang’ saya. Banyak junior-junior yang lebih hebat dari saya,” ucap Eros.

0

About the Author:

Content Writer SAE Indonesia
  Pos Berhubungan
  • No related posts found.

Add a Comment