Blog

Bayu Perkasa: Live Sound Engineer untuk Barasuara, Satu Per Empat, Rachun, dll.

Posted by:

Bayu Perkasa adalah alumni program Audio SAE. Sejak kuliah, Bayu sudah sering bekerja dengan Barasuara, Satu Per Empat, dan Rachun; hingga kini. Selain 3 band itu Bayu juga pernah bekerja dengan RAN, Kunto Aji, dan Adhithia Soyan. Seperti apa pengalaman Bayu selama kuliah di SAE dan bekerja di industri? berikut adalah perbincangan Bayu dengan mahasiswa Audio SAE Devina Raissa Faranda.

 

Kapan dan kenapa kamu memutuskan masuk SAE?

Saya masuk SAE tahun 2013. Kalau ditanya kenapa, sebenarnya ini mungkin klise ya, tapi saya harus bisa hidup dari musik. Awalnya, seperti beberapa engineer, saya tidak terlalu jago main musik, lalu bapak saya memberitahu ‘eh ini ada SAE sekolah audio, mau coba gak?’ saya coba dan ternyata cocok.

 

Jadi keluarga mendukung anda masuk SAE?

Kalau bapak si kayaknya 100 % mendukung ya. Dan ibu juga akhirnya mendukung; walaupun awalnya beliau bertanya ‘mau coba SNMPTN gak? Jadi ada pilihan kampus lain untuk jaga-jaga’ tapi saya sudah memutuskan ketika lulus SMA saya mau masuk SAE.

 

Berarti memang tidak mencoba kampus lain ya?

Tidak. Dan malas juga si. Daripada coba-coba dan ternyata nanti tidak sesuai passion, sia-sia kan.

 

Apa mata kuliah favorit selama kuliah di SAE?

Banyak si sebenarnya, tapi yang terfavorit itu mata kuliah Live Sound Production. Karena dari dosennya-Mas Norman- udah kayak teman sendiri. Dan kalau nongkrong bisa sampai malam. Lalu mata kuliah, kalau tidak salah, intro to sound production. Suatu ketika dosennya bilang tidak usah belajar praktik, tapi ia memberi kami sekelas 1 video yang menginspirasi saya untuk membuat rekaman; dokumenternya Red Hot Chili Peppers yang Blood Sugar Sex Magick itu. Jadi dia membuka tidak cuma secara teknis, tapi juga menunjukkan bahwa kita bisa membuat audio seperti itu.

 

Itu semester berapa? Dan anda dulu kuliahnya berapa tahun?

Saya dapat kuliah yang 3 tahun. Kalau gak salah yang intro itu semester 1 atau 2 dan yang Live Sound itu semester 3, tapi dibagi dua dengan mata kuliah acoustic. Misal 3 bulan mata kuliah acoustic, setelah itu live sound. Menurut saya Live Sound 3 bulan itu terasa kurang, harusnya bisa 1 semester.

 

Apa mata kuliah paling tidak favorit?

Lumayan banyak si.. he he. Sebenarnya dari masa SMA saya tidak terlalu bagus dengan matematika, jadi ketemu yang hitung-hitungan gitu agak malas ya. Basic theory pun sebenarnya saya agak malas juga ya, tapi akhirnya saya bisa belajar yang tempo-tempo gitu. Mata kuliah EMP juga saya kurang suka karena saya tidak into kepada electronic music.

 

Sampai sekarang tidak suka electronic music?

Iya, sampai sekarang. Saya melihat teman-teman saya ‘wah gila, sekarang gampang banget ni bikin electronic music pake Ableton!’ tapi karena saya tidak into. Bahkan saya hampir tidak lulus namun akhirnya dibantu dua teman saya dan akhirnya bisa lulus dengan nilai seadanya. Padahal waktu itu dosennya mas Lawrence yang seru.

 

Iya, padahal seru banget ya kalau mas Lawrence ngajar, tapi imajinasi saya pun belum sampai di Ableton juga..

Iya tapi kayaknya kita harus tetap mengikuti perkembangan industri si. Apalagi kalau kita memutuskan untuk menjadi music producer, mau nggak mau ya harus paham electronic music.

 

Mata kuliah yang paling sulit apa menurutmu?

Selain EMP, acoustic juga sulit.

 

Tapi menurut anda teori-teori acoustic itu berguna tidak? Misalnya untuk rekaman atau setting stereo set di kamar.

Iya si, tapi yang paling berguna itu sebenarnya untuk live sound. Kalau di live sound itu ada FOH, Monitor, System Engineer, dan saya ingin sekali mendalami ketiga itu. Beberapa kali saya ikut seminar dan saya merasa teori acoustic itu berguna sekali.

 

Jadi teorinya tetap berguna ya di pekerjaan?

Iya, berguna sekali.

 

Punya pengalaman seru selama kuliah? Misalnya ada project-project, pengalaman dengan dosen, atau hal-hal lainnya.

Saya dengan teman saya waktu itu disuruh supervise angkatannya Kristin dan Andra, jadi mereka waktu itu mengerjakan rekamannya Monita. Serunya, rekamannya waktu itu Live dan bagaimana caranya bisa merekam langsung tapi di 3 studio yang berbeda di SAE. Saya waktu itu belajar patching, bagaimana bisa menggabungkan rekaman dari 3 studio itu.

 

Banyak banget ya link yang bisa didapatkan dari berkuliah di SAE. Selain itu anda pernah mengerjakan project apa lagi di kampus?

Waktu semester 1 saya dibantu 2 teman mengerjakan Materi Jiwa dan belajar rooting dll.

 

Bisa diceritakan pengalaman kerja setelah lulus dari SAE? Oh iya, dan apa saja materi-materi di kampus yang masih anda ingat dan terpakai dalam pekerjaan?

Saya pertama kali bekerja itu saat semester 2, kalau tidak salah ingat. Saya diajak mengerjakan live recording Sounds from the Corner. Waktu itu saya hanya memasang PC saja, bagaimana caranya semua input audio bisa masuk ke Q-Base. Dan dari situ akhirnya sampai sekarang saya bisa bekerja bersama Barasuara di UI. Sebenarnya saya ‘dijebak’ ya oleh teman saya dan awalnya saya tidak mengerti sama sekali menggunakan studio digital, yang saya pikir sama dengan studio live. Saya sound check dan memeriksa kesiapan lainnya, aman, tapi setelah Barasuara main, teman saya itu menghilang. Dia baru datang di lagu ke-4.

 

Wah, jadi anda sendirian dong?

Iya, sendiri. Teman saya 2 orang sebenarnya juga ada, tapi saya yang disuruh mengurus feedback sound. Pada waktu itu saya tidak mengerti dan untunglah teman saya yang mengajak itu datang. Dia bilang Barasuara akan main lagi pada akhir minggu ini dan saya disuruh mengerjakan. Eeeh.. pas hari H teman saya itu tidak datang sama sekali.

 

Perasaan anda gimana ketika itu?

Deg-degan banget. Karena selama acara berlangsung sound-nya feedback terus. Akhirnya setelah dari situ saya tahu, mungkin kalau tidak ‘dijebak’ gitu saya tidak akan belajar. Saya dari dulu ingin mencoba live recording. Kalau untuk tracking, energi saya tidak terlalu cocok. Jadi setelah dicemplungkan di live recording saya banyak belajar, pro tools itu ternyata bisa kayak begini, monitoring bisa begitu, dll. Semua teori yang diajarkan itu berguna si.

 

Apa pengalaman rekaman paling seru?

Sewaktu saya mengerjakan rekamannya Satu Per Empat, dan terinspirasi dari dokumenternya RHCP itu. Saya benar-benar cuek saja dengan peralatan seadanya; itupun juga hasil meminjam dari orang. Hasil rekamannya Raw sekali, tidak modern, tapi itu sound yang saya dan teman-teman yang mengerjakan rekaman itu inginkan.

 

Berarti peralatan yang minim tetap tidak menghalangi untuk membuat karya yang maksimal ya?

Betul. Karena ketika rekaman itu yang ditangkap adalah vibe-nya. Ada masalah-masalah teknis kecil, tapi mungkin yang dicari waktu itu nongkrongnya kali. Waktu itu kami; saya dan teman-teman rekaman di vila kosong yang besar.

 

Ada cerita-cerita lucu semasa di kampus?

Ada. Waktu itu lagi-lagi saat kelasnya Mas Norman. Waktu itu kita sempat diajari menggulung kabel, memasang stand mic, dll. Waktu itu Mas Norman bilang kabel digulung dan diikat pakai Velcro kalau ada. Tapi, tidak tahu siapa, akhirnya ada yang mengikat kabel itu (padahal tidak ada Velcro) dan harusnya kabel itu dicolokkan. Kami sekelas dipanggil oleh Mas Yandha (Ketua Jurusan program Audio SAE) ke depan studio 1 dan ia menebarkan kabel-kabel, mungkin sebagai bentuk hukuman kepada kami karena lalai. Tapi sebenarnya yang membuat kita dihukum tu sudah kabur duluan. Sampai sekarang dia menghilang, tidak tahu kemana.

 

Posisi di dunia Audio yang masih langka di Indonesia tu menurutmu apa?

Menurut saya kalau di dunia Post Production yang masih langka itu Foley Artist. Yang belum tahu, Foley Artist adalah kru yang bertugas mengisi semua suara di dalam 1 film. Dan di dunia Live Audio menurut saya peran Patching Engineer itu penting banget dan masih agak langka di Indonesia. Apalagi untuk di festival musik. Saya bersama Mas Norman dan 1 teman saya pernah membantu di WE THE FEST (WTF) bagian monitor. Cukup sulit karena band-nya ganti-ganti dan channelnya selalu berubah kan. Sedangkan Patching Engineer harus mencatat pakai Fetch Book apa saja. Selain itu Backlight Technician juga masih langka.

 

Apakah pernah mendapat pengalaman tidak enak selama di panggung besar?

Pernah. Waktu itu Rachun manggung di PRJ. Saya baru menemui mixer yang saya belum pernah gunakan sebelumnya. Nah di mixer itu ada tombol untuk mode mute; saat main, karena fokus saya ke panggung, saya tidak sengaja memencet tombol mute itu dan akhirnya suaranya mati. Sampai stage manager datang untuk mengingatkan. Menurut saya pengalaman itu sangat memalukan.

Oh iya, waktu itu juga Rachun pernah main di UI. Pas kita datang kok ada tank.. kita pikir itu acaranya TNI dan ada tentara-tentara berseragam. Saya mixing di dalam semacam mobil besi dan memakai tools yang kurang oke. Dan selama mereka manggung saya deg-degan banget dan HT berbunyi terus. Dan mereka saat itu memainkan lagu berjudul ‘Kebenaran’ ; lagu yang politis, makanya HT bunyi terus, mengingatkan supaya lagu-lagu sensitif itu tidak dimainkan. Setelah selesai saya bertemu dengan LO-nya. Saya, yang waktu itu merangkap jadi Road Manager, meminta ijin LO itu untuk membayar kami. “Lho, kalian bukannya mainnya 2 kali? Sebagai home band dan bawakan lagu-lagu Iwan Fals, ya!” kata LO itu. Jelas saya bilang nggak bisa. Setelah saya paksa-paksa akhirnya dibayar juga. Dan saat saya lihat-lihat profile picture LO itu di WA, ia sedang memegang sniper rifle.

 

Kenapa mau mengerjakan proyek yang tidak ada duitnya? Mungkin kamu bisa sharing antara kerja dengan passion.

Asal saya suka dengan lagu-lagunya maka akan menyenangkan mengerjakan audionya.

 

Bisa diceritakan sedikit tentang Close System-nya Barasuara?

Close System itu maksudnya kita bawa perlengkapan mixing sendiri, yang pinjam paling hanya stand mic. Saya minta 2 channel (L dan R) dan kabel cat 5. Semua input channel ditaruh di belakang, cuma untuk agar saya bisa mengerjakan pakai iPad saja. Kelebihan sistem ini menurut saya bisa mempercepat flow kerja dan mendeteksi kekurangan-kekurangan teknis. Sound checknya juga lebih cepat.

 

Menurut kamu setiap band perlu ada sistem seperti itu juga kah?

Barasuara sebenarnya sudah lama ingin mempunyai sistem seperti ini; tapi kita perlu merapikan dulu. Misalnya dari microphone dan kabel-kabel yang kita biasakan harus bawa sendiri, supaya tidak merepotkan vendor. Jadi kalau menurut saya apakah setiap band harus punya Close System, tidak si. Yang penting bandnya rapih dan sourcenya enak. Itulah basicnya.

 

Pernah tidak Close System itu gagal di panggung?

Saya pernah waktu di Soundrenaline. Sistem yang saya pakai inputnya itu ada dalam 1 rak. Ada juga yang rak input, output, dan mix engine-nya itu beda. Kadang-kadang putusnya itu di kabel Cat 5; yang tidak bisa kita kontrol dan mati. Yang paling sering terjadi itu wifi saya mati, karena dari monitor ke stage itu koneksi Cat 5 itu tidak bagus. Sound system saya bermasalah di Soundrenaline itu saat sound check, 17-32 input itu tidak masuk. Setelah input drum itu saya tidak bisa ngecek sama sekali. Ternyata ada yang terbakar. 1 tim sudah coba-coba menelepon untuk beli kabelnya dan meminjam sana-sini. Akhirnya kita bisa sound check dan sistem kita yang rusak tadi bisa dibenahi oleh tim vendor.

 

Kalau di Live Sound itu pasti banyak deg-degannya karena dikejar waktu. Betul kan?

Iya, betul. Karena Live Sound itu tidak bisa diulang. Kalau rekaman studio kan kalau ada yang salah atau kurang cocok bisa kita kerjakan ulang.

 

Mana yang paling kamu sukai; mixing, live sound, atau recording?

Sejauh ini saya paling suka live sound ya, karena saya suka jalan-jalan sih.. he he. Alhamdulillah akhirnya saya bisa ikut tur dengan Barasuara dan band yang lain, mengunjungi kota-kota yang belum pernah saya datangi. Kalau di studio akhir-akhir ini saya mulai ngulik si.

 

Kalau sekarang project apa yang masih berlangsung?

.Feast. Karena semenjak pandemi banyak yang stop. Album barunya .Feast pun katanya akan rilis setelah lebaran, tapi karena pandemi ya terpaksa berhenti dulu.

 

Ada tidak koneksi dari kampus yang sampai sekarang masih terpakai?

Banyak. Waktu itu rekaman Barasuara pertama kali karena diajak Mas Moro; sampai sekarang. Saat live sound saya juga pernah bersama Mas Norman. Pernah juga menggantikan Mas Yandha.

 

Oh iya, ada titipan pertanyaan ni soal Foley. Apakah Foley bisa dipakai di bidang periklanan?

Sepertinya sangat bisa, ya. Misalnya iklan mobil, kan ada beberapa part yang harus direkam lagi oleh Foley Artistnya. Iklan makanan juga menurut saya memakai Foley Artist.

0

About the Author:

Content Writer SAE Indonesia
  Pos Berhubungan
  • No related posts found.

Add a Comment