
Ryoichi Hutomo adalah sutradara dan produser asal Indonesia. Mengawali karirnya sebagai Art Director, semenjak 2010 ia sudah berkarya dan bekerjasama dengan Maudy Ayunda, Ten2Five, Rossa, dll. Selain itu ia juga membuat iklan untuk brand-brand terkenal seperti Clear, Wardah, Puma, Wrangler, dan masih banyak lagi. Ia juga seorang pengajar di program Film SAE Indonesia.
Sebagai seorang Art Director dan Producer di Production House (PH) tentunya Ryoichi tidak asing dengan istilah pitching. “Definisi pitching itu kan sebenarnya pertarungan (ide),” kata Ryoichi di sharing session Live Instagram @saejakarta (7/5). Awalnya ia tidak tahu menahu tentang Pitching, tapi sejak mempunyai perusahaan sendiri tahun 2014, mau tidak mau ia pasti terlibat dalam pitching. Jadi, lanjut Ryoichi, pitching adalah presentasi ide untuk menarik client/brand/agency yang berencana memproduksi iklan untuk produk mereka.
Jenis pitching sendiri itu bermacam-macam, misalnya seperti pitching showreel/portofolio, pitching director, pitching PH, pitching konsep, dan pitching budget, yang sering dilakukan saat ini. “Karena dalam setahun, biasanya PH sudah punya anggaran untuk syuting berapa, promo berapa, sudah punya patokan harga. Dan harga yang paling sesuai dengan client itulah yang akan terpilih,” kata Ryoichi.
Pitching budget itu termasuk tahap akhir dari proses pitching. Yang paling utama, seorang producer harus memahami bagaimana membuat pitching yang baik. Ryoichi menjabarkan prosesnya seperti ini: Client menyebar brief kepada PH-PH yang berisi product knowledge, target market, dll. Brief itu sebagai petunjuk untuk membuat konsep seperti yang diinginkan oleh client. “Kita harus menempatkan client di atas ide-ide kita. Jangan sampai kita menggurui mereka,” pesan Ryoichi. Setelah mendapat brief, PH bisa mulai membuat konsep dan video untuk dipresentasikan kepada client. Isi presentasi itu biasanya adalah gambar-gambar yang digabungkan dengan penjelasan-penjelasan detail. Dalam setiap video itu harus terkandung unsur Hero, Villain, dan How. Hero adalah fokus konten, penggambaran yang cocok dengan target demografi yang akan disasar client. Villain adalah rintangan dari Hero, penggambaran masalah yang nantinya akan diselesaikan oleh Hero. Dan How adalah penggambaran konflik, apakah nanti Hero atau Villain yang menang, akan terepresentasikan di unsur How ini.
Ryoichi mencontohkan dengan ide untuk membuat konsep produk Tanning Bed. Rencananya ia akan memasukkan shots berisi beberapa orang berkulit pucat (Hero) yang tidak puas dengan keadaan kulitnya tersebut (Villain). Lalu, langkah selanjutnya ia akan membuat tagline seperti ‘Get Tan Today’ atau ‘Being Pale is Suck’ . “Di situlah kita bisa merumuskan How to, bagaimana cara mereka relate dengan produk Tanning Bed itu,” ujar Ryoichi. Kalau sudah bisa logline seperti itu, pasti sudah bisa menguasai pembuatan pitch dengan baik.
Dalam dunia pitch, semakin sedikit menyampaikan kata-kata itu semakin baik. Karena, kata Ryoichi, client itu bisa jadi tidak 1 frekuensi, jadi diperlukan moodboard untuk menjelaskan konsep kita secara visual. Moodboard adalah media panduan yang berisi gambar-gambar frenzy, color pallete, theme, dll. “Pokoknya overall look dari konsep kita,” kata Ryoichi. Moodboard ini kemudian perlu dijabarkan lagi agar client bisa melihat visi PH tentang brand itu. Visi yang dimaksud antara lain: tone, look, dan feel. Moodboard bisa juga digabungkan dengan video referensi dan kemudian ditindaklanjuti dengan storyboard, yang berguna untuk menjelaskan adegan di dalam script. Storyboard juga tidak perlu digambar, bisa juga menggunakan foto-foto dari gettyimages atau shutterstock. “Kita cari adegan yang sesuai dengan keinginan klien dan kita kasih deskripsi singkat,” kata Ryoichi.
Setelah itu materi presentasi itu perlu dibaca ulang, direvisi, dan dipresentasikan di internai. Agar nanti ketika presentasi kepada client, sudah paham materinya dan bisa menjelaskan lebih lengkap, tidak sekedar membaca slide saja. Ketika pitching dengan client, Ryoichi menegaskan PH harus holding out the ground, atau mempertahankan ide. “Walaupun klien tidak suka dengan ide kita, tapi kita harus berusaha maksimal untuk mempertahankan konsep kita itu dan meyakinkan klien bahwa brandnya akan lebih baik dengan konsep kita. Nilai plusnya disitu.”
MEI
2020
About the Author:
Content Writer SAE Indonesia