Blog

Shandy Eka Permadi: Film Composer dan Music Editor untuk Film KKN di Desa Penari, Danur, Pretty Boys

Posted by:

Shandy Eka Permadi adalah alumni program Audio SAE Indonesia. Setelah lulus dari SAE, Shandy mendapatkan pekerjaan sebagai Film Composer, Music Editor, dan recording & mixing engineer. Berikut wawancara Shandy dengan Ahmad Yusuf Ardisasmita, mahasiswa Audio semester 4 SAE di Live Instagram @saejakarta

 

Halo Mas Shandy. Oh iya, anda ini kan sudah mempunyai gelar S1 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) jurusan Seni Musik, kenapa memutuskan untuk kuliah lagi di SAE?

Kalau saya breakdown, sebenarnya saya kan hanya senang main musik dan kemudian menemukan hal-hal baru mengenai teori musik di kampus sebelumnya. Lalu kemudian saya tertarik menelusuri audio, karena saya ngeband dan pakai sequencer dll, dari situlah ketertarikan saya terhadap dunia audio dimulai. Kemudian saya ambil private soal audio dan pengajar saya: Mas Agus Hardiman, salah satu pelopor edukasi audio di Indonesia, menyarankan agar saya belajar di SAE. Setelah skripsi saya selesai, saya cari-cari SAE itu apa. Saya lihat silabusnya dan ternyata menarik. Waktu itu saya agak berat memikirkan harus menempuh S1 lagi, tapi tidak apa lah karena saya memang ingin belajar. Dan ujung-ujungnya pelajaran yang saya dapatkan memang sepadan untuk di dunia kerja.

 

Tadi anda sempat menyebutkan skripsi; kebetulan saya menemukan skripsi anda nih. Kalau tidak salah anda membahas tentang Digital Audio Workstation (DAW) ya?

Bukan DAW, tapi pembelajaran audio engineering.

 

Selama 3 tahun kuliah di SAE, apa mata kuliah favorit anda?

Studio Production adalah salah satu favorit saya. Sebenarnya semua mata kuliah itu menarik, tapi yang paling berat adalah principal audio. Susah banget itu. Karena kan rata-rata anak audio itu kan sukanya langsung praktek di studio dan tidak banyak hafalan atau menghitung.

 

Apa mata kuliah yang menurut anda cukup susah?

Ya itu tadi: principal audio. Waktu itu mata kuliah Studio Production 1 masih ngurusin log book dan pernah pada hari H sebelum mulai ujian kita fotokopi sama-sama di daerah Fatmawati.

 

Ada pengalaman paling berkesan selama kuliah di SAE?

Mendapatkan pengetahuan teknis tentang audio adalah pengalaman yang berkesan untuk saya. Saya kan saat ini mengerjakan scoring ni; ikut dengan PH-nya Ricky Lionardi (Komponis), nama PH-nya RL Studio. Di situ saya sebagai audio engineer, selain additional composer yang membantu Mas Ricky mengerjakan scoring. Teknik-teknik produksi yang menggunakan software-software seperti midi dan segala macam itu kan berhubungan banget sama pelajaran-pelajaran SAE. Jadi basic-basic yang saya dapatkan di SAE sangat membantu pekerjaan saya saat ini. Gimana mengatur level produksi yang oke, mengatur instrumen yang takarannya cocok untuk mixing ataupun mastering, gimana caranya mendeliver level dari musik menuju ke audio post production, dan teori-teori lainnya yang pernah saya dapatkan di SAE. Walaupun banyak juga hal-hal baru yang belum saya dapatkan sebelumnya. Saya tipikal orang yang belajarnya pelan-pelan, harus memahami 1 hal dulu baru merambah ke hal lainnya. Dan saya susah belajar secara otodidak; walaupun di SAE juga sering disuruh mencari referensi sendiri tapi kan intinya poin-poinnya dasarnya sudah diberikan.

 

Iya, saya juga tipe pembelajar yang step by step. Kita kan sering dapat referensi sendiri, namun setelah ditanyakan ke dosen akan beradu argumen lagi. Tapi justru dari situ ilmu audio menjadi dinamis.

Iya, karena memang ilmu audio itu kan tidak saklek. Kadang-kadang banyak variabel yang mempengaruhi 1 bidang. Akhirnya teori-teori yang hitung-hitungan itu kadang-kadang tidak kena juga; semua kembali pada cakupan pendengaran kita. Banyak sekali perubahan pada apa yang sedang anda mix atau record. Yang penting kita punya standar keindahan untuk menilai audio.

 

Menurut saya salah satu advantage dari kuliah di SAE itu adalah para pengajarnya. Karena menurut cerita dari teman-teman saya, mereka nggak ada yang sedekat seperti kedekatan antara mahasiswa-mahasiswa SAE dan dosen-dosennya. Anda setuju?

Iya. Misalnya saya sama Mas Yandha (Ketua Jurusan Audio SAE) itu sudah seperti teman saja. Sampai sekarang pun kalau saya main-main ke SAE, saya selalu ngobrol-ngobrol lama dengan Mas Yandha. Mas Moro juga pernah mengajak saya bekerja dengan Erwin Gutawa sebagai audio editor. Ketika anda proaktif pasti anda akan sering diajak bekerja dengan para profesional yang sudah mempunyai nama. Sekalian untuk bahan dosen menilai skill kita itu ada dimana; apakah di live, studio, post production, dll. Karena sebenarnya ilmu yang didapatkan di kuliah itu belum lengkap tanpa pengalaman bekerja di luar. Audio itu tidak bisa dipelajari cuma dari kelas, tahu teori, kemudian jadi jago; wah tidak bakal terjadi seperti itu.

 

Tadi anda sempat membahas pekerjaan di RL. RL itu sebenarnya PH apa sih? Dan anda sebagai apa di sana?

RL itu PH musik milik Ricky Lionardi; sebagai produser. Nah, RL ini memang spesialisasinya adalah scoring untuk film-film bioskop Indonesia. Selain itu juga mengerjakan jingle iklan. Tapi 80% RL mengerjakan musik film-film layar lebar dan produksinya bareng PH besar. Jadi semua pekerjaan kita nantinya akan dideliver ke audio post production. Kerjaan saya itu agak hybrid. Ini saya cerita sedikit ya; Mas Ricky itu kan sering ke SAE untuk recording orkestra, waktu itu dia lagi rekaman untuk pagelaran besar dan dilakukan di SAE. Kemudian oleh SAE kegiatan itu diunggah ke IG. Saya ngestalk IG nya Mas Ricky, ternyata dia sedang mencari Junior Composer. Waktu itu job desc yang dibutuhkan adalah yang bisa audio engineering, bisa ngetik scene, bisa edit musik, dll. Saya tertarik banget dengan lowongan itu dan kebetulan saya sedang tidak ada pekerjaan tetap; hanya freelance. Menariknya PH itu ada jam kantornya, tidak bablas gitu aja. Setelah saya mengirim CV 2-3 hari kemudian saya dipanggil untuk wawancara pertama. Setelah itu ada wawancara beberapa kali lagi dan saya diterima. Awalnya trial dulu sebulan, dan terus berlanjut sampai sekarang. Berarti sudah 2 tahun saya kerja di situ dari tahun 2018. Alhamdulillah lingkungan kerjanya enak, Mas Ricky-nya juga baik banget, composer dan engineer juga asyik-asyik. Makanya saya nyaman bekerja di situ. Saya rela berangkat bekerja setiap hari dari Cibubur-Pondok Indah. Jam kantornya dari jam 1 siang sampai jam 9 malam. Kerjanya ada yang 5 hari dan ada yang 4 hari. Saya ambil yang 4 hari, jadi di luar jam kantor saya bisa mengerjakan yang lain.

 

Saya sering melihat pengalaman alumni-alumni dan senior-senior SAE bahwa SAE itu networkingnya keren banget. Setuju gak?

Iya, setuju. Karena sebenarnya networking itu adalah poin utama. Di samping itu pembelajaran di SAE itu menjurus dan terfokus. Saya mengalami banget dapat kerjaan-kerjaan yang serius itu ya setelah masuk SAE. Kebetulan orang-orang di angkatan saya itu hebat-hebat; yang bisa mengenalkan kita ke macam-macam orang. SAE itu sebenarnya orangnya tidak kompetitif, jadi ketika kamu aktif dan mau belajar pasti kamu akan diajak untuk belajar bekerja atau bekerja. Saya juga dulu awalnya seperti itu, pernah diajak saat rekaman Barasuara. Saat rekaman yang judulnya Samara itu saya jadi recording engineer-nya. Sensasinya waktu itu menegangkan sekaligus asyik, karena kan kita diperhatikan oleh banyak orang di belakang kita (recording engineer berada di depan panggung). JadiĀ  kalau diajak bekerja, minimal kamu nyolok-nyolokin kabel dulu, itu sama sekali tidak masalah. Jangan dilihat pekerjan itu sepele, tapi lihatlah untuk upaya menambah ilmu karena kamu mengalaminya langsung.

 

Ada nggak project yang anda kerjakan dari masa kuliah dan masih berjalan sampai sekarang?

Iya, masih ada kok beberapa. Misalnya saya dimintai tolong mengaransemen orkestra atau piano saja juga sering kok.

 

Apakah anda bersyukur pernah berkuliah di SAE dan apa alasannya?

Ilmu tentang audio itu cukup susah dipelajari ya, dan lebih susah lagi mencari orang-orang yang bisa mengajarkannya dengan tepat. Sampai sekarang ketika saya melakukan mixing, pasti ada aja nggak enaknya. Kamu nggak akan selalu konstan bakal enak terus; kadang-kadang mood kita kan berubah. Tapi untuk menuju ke tahap itu kamu perlu fondasi ilmu yang oke supaya kamu bisa menguasai basic workflow, dan setelah itu feeling kamu jadi terus terasah. Intinya jangan berhenti belajar dan mencari hal-hal baru, karena di keadaan di lapangan akan selalu berkembang. Jangan terlalu banyak di kampus; ilmu yang didapat harus terus diaplikasikan. Dari kampus coba cari lingkaran pertemanan dan aktif di dalamnya. Selama 3 tahun berkuliah itu saya selalu menemukan hal baru, misalnya ketika saya belajar audio post production itu saya juga puas ketika belajar mixing and mastering, yang masih bagian dari audio post.

 

Jadi kalau masuk SAE dapat fondasi, networking, dan nyaman ya untuk mencari pengalaman lain di luar kampus.

Iya, apalagi anak-anak audio itu kan gokil-gokil ya.

 

Bagaimana perkembangan dan penerapan Dolby Atmos di Indonesia?

Bulan Januari atau Februari kemarin itu baru buka pertama kalinya di Indonesia studio Dolby Atmos di Ceger. Namanya penikmat atmos, dimensinya jauh lebih besar dari Dolby 7.1. Kalau detail penerapannya si sebenarnya saya tidak pernah kesana si. Di studio kantor pakai Dolby 5.1, paling banter saya bisa angkat audio post productionnya itu ke 5.1. Kalau 7.1 atau atmos itu saya belum pernah sampai sekarang. Karena kalau musik itu jarang pake atmos si, biasanya VFX yang pakai atmos. Bahkan pakai Dolby 5.1 itu juga baru, biasanya kan kita tahunya kalau musik itu pakainya RL aja.

 

Seberapa banyak project audio post production saat ini di Indonesia?

Banyak kok. Kalau project yang besar-besar itu bahkan bisa dalam 1 bulan mengerjakan audio post 8 film. Biasanya orang yang di-hire memang banyak. Yang pekerjaan di studio Ceger itupun padat sekali. Yang mengerjakan dialog saja bisa berbeda-beda orang; menurut pengamatan saya setiap divisi itu berbeda-beda. Jadi project audio post di Indonesia itu lumayan aktif lah, tapi entah ya sekarangĀ  bagaimana sejak corona.

 

Banyak stereotip mengatakan prospek karir di audio post production itu nggak ada, apakah bisa survive di bidang ini?

Alhamdulillah saya bisa survive si he he. Audio itu kan banyak cabangnya, ada editing, video, broadcast, dll. Berawal dari minat anda dan bagaimana cara anda mencari project-project audio post production. Saya kan minatnya di musik, jadi saya lebih mendalami aransemen, editing, mixing, mastering kadang-kadang

 

Bagaimana segi ekonomi dari perkembangan musik dulu dan sekarang?

Sebenarnya saya tidak melihat perkembangan dan segi ekonomi industri musik. Karena saya tidak bekerja untuk klien-klien di kantor, saya bekerja di bawah satu orang. saya kurang tahu di balik layar itu sebesar apa segi ekonomi industri musik sekarang. Tapi kalau untuk music scoring malah lagi hype sebelum corona. Banyak composer-composer baru untuk mengerjakan film; dari short film sampai film festival, yang akhir bisa masuk ke bioskop. Kan lumayan itu. Secara bisnis, music scoring itu oke banget.

0

About the Author:

Content Writer SAE Indonesia
  Pos Berhubungan
  • No related posts found.

Add a Comment